Laman

Senin, 14 Februari 2011

NINA BOBO

NINA BOBO

            “Hey, Anna! Bangun! Ini hari terakhir sekolah untuk liburan kan? Jangan terlambat!”
            Kubuka mataku untuk melihat hari yang baru lagi. Hari terakhir sekolah untuk liburan. Hari yang diawali dengan suara sirine adikku. Menyebalkan sekali harus mengawali hari terakhir dengan melihat wajahnya di atas ranjangku.
            “Pergilah, Nina!” kataku lemas.
            “Baiklah, aku tunggu di ruang makan” katanya dengan senyuman.
            Aku meraih handukku dan langsung pergi ke kamar mandi. Setelah mandi kupersiapkan penampilanku yang seperti anak SMA. Aku langsung pergi ke ruang makan. Kulihat ibu dan Nina duduk di depan meja saji. Di meja tersebut terdapat roti panggang dan susu.
            “Hai, Anna! Aku sendiri yang memanggang rotimu. Hebat, kan?” kata anak umur 8 tahun itu.
            “Nina, panggil kakakmu dengan sebutan kakak! Jangan panggil dengan sebutan Anna” kata ibu.
            Nina mengangguk, aku segera melahap rotiku. Ibu terus saja memandangiku. Suasananya begitu hening. Nina terus saja memainkan makanannya, ia memang selalu bermain dengan makanannya.
            “Waktu ayahmu belum meninggal, kamu tak pernah melewatkan waktu bersama ayahmu dengan ceria” kata ibu kepadaku.
            Aku diam saja, tentu hatiku sedikit tertusuk atas perkataan ibu. Ayahku sudah meninggal lima tahun yang lalu karena kecelakaan kapal. Ayahku seorang nahkoda, pulang kerumah hanya setiap satu tahun sekali. Maka dari itu aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan bersama ayah.
            Setelah selesai sarapan, aku segera pergi ke sekolah. Di sekolah banyak yang membicarakan ingin liburan kemana. Kalau aku tak perlu pikir panjang, yang penting bisa jauh dari adikku yang berisik itu. Maka dari itu aku memutuskan untuk berlibur ke pulau tempat Paman Lou berada. Tempatnya terkenal sepi dan indah. Ada bekas klinik tak terpakai di sana, jadi selain dapat berlibur juga dapat mengerjakan tugas penelitian tentang klinik.
            Setelah pulang sekolah, aku menyiapkan pakaian dan kebutuhan berlibur.
            “Hai, Anna! Kau mau kemana?” kata Nina di depanku.
            “Aku akan pergi ke rumah paman Lou untuk penelitian” kataku sedikit dingin.
            “Waaah! Aku ingin ikut. Aku ingin jadi dokter seperti impian Anna. Boleh ya, Anna?”
            “Tidak boleh! Nanti kamu mengganggu. Lagian aku tidak sedang berlibur, aku banyak tugas” kataku berbohong.
            Suara Bibi Lou terdengar. Aku segera keluar dengan membawa koporku. Aku memeluk Bibi Lou dengan erat. Aku senang sekali ia datang, ia seperti seorang bidadari yang akan membebaskanku dari keributan di kota ini. Satu-satunya keributan di kota ini adalah Nina.
            “Hai Bibi Lou!” sapa Nina yang membawa kopor merah muda.
            Aku kaget, mau apa dia dengan kopor dan sapaan itu? Jangan-jangan ia mau pergi ke rumah Bibi Lou. Tidak mungkin!!
            “Hey Nina! Mau apa dengan kopor itu?” tanyaku dengan nada tinggi.
            “Tentu saja untuk membawa perlengkapan berliburku di rumah Bibi Lou” katanya santai.
            Apa? Ini namanya sama saja dengan membawa keributan untuk berlibur. Menyebalkan, aku juga tak memiliki pilihan lain. Ibu menyuruhku mengajaknya dan tak boleh menolak. Mau tak mau harus membawa sirine ini.
            Kami pun berangkat, di perjalanan menuju pelabuhan Nina selalu bertanya-tanya kepadaku tentang apa saja yang dilihatnya. Anak ini cerewet sekali. Sesampainya di pelabuhan, kami mengendarai perahu motor untuk sampai ke pulau. Kira-kira dari pelabuhan ke pulau memakan waktu satu jam.
            Sesampai di rumah Paman Lou, kami di sambut dengan pelukan dan senyuman yang kami rindukan. Setelah itu kami membereskan perlengkapan kami di kamar masing-masing. Rumah Paman Lou memang luas dan banyak kamar karena dulunya banyak yang tinggal di rumah ini.
            “Paman, gedung bekas klinik di mana?” tanyaku setelah membereskan perlengkapanku.
            “Datang-datang sudah mau pergi? Kalau begitu biar paman tunjukan” kata Paman Lou.
            “Paman, aku boleh ikut, ya?” pinta Nina.
            “Boleh, ayo!” ajak paman.
            Aduuuuh! Anak ini pasti akan cerewet sekali. Sesampainya di klinik, aku melihat-lihat keadaan luar klinik tersebut. Wah! Parah sekali gedung bekas klinik ini. Rerumputan dan semak liar tumbuh di mana-mana. Cat temboknya pun banyak yang terkelupas. Setelah melihat keadaan luar klinik, paman mengajakku ke dalam.
            “Dulunya klinik ini milik sepasang suami-istri dan anaknya. Suaminya seorang dokter sedangkan istrinya seorang perawat. Klinik ini adalah saksi cinta mereka” kata paman dengan serius.
            “Mengapa klinik ini di tutup?”tanyaku sambil mencatat apa saja yang ada di klinik tersebut.
            “Karena mewabahnya penyakit cacar. Sebagian penduduk pulau ini sudah divaksinisasi cacar. Namun tidak dengan anak-anak dan pendatang. Saat terkena cacar, mereka datang ke sini untuk disembuhkan karena hanya ini satu-satunya tempat pengobatan” kata paman dengan seriusnya “Korbannya mencapai 13 orang. Sepuluh meninggal, 7 anak-anak dan 3 lanjut usia. Bibit cacar pun  tak ada di pulau ini. Adanya di seberang pulau, tepatnya di tengah kota. Dulu belum ada perahu motor di pulau ini, adanya perahu layar. Dari pulau ke seberang pulau memerlukan waktu 2 jam. Dari pelabuhan ke tengah kota memerlukan waktu 3 jam dengan berkuda. Padahal bibit cacar tersebut sangat dibutuhkan secepatnya” jelas paman dengan panjangnya.
            “Waaaaaah! Boneka yang lucu. Ternyata boneka masa lalu sangat bagus, ya!” kata Nina memecah ketegangan. Ia memeluk boneka tersebut seperti ibu memeluk anaknya.
            Sudah empat hari kami berlibur di rumah Paman Lou. Aku dapat berenang, memancing, dan sebagainya. Bahkan tugas penelitian pun sudah selesai. Namun pada hari ke empat tersebut Nina sakit, mungkin hanya kelelahan karena ia terlalu bersemangat.
            Hari selanjutnya pada malam hari, aku dibangunkan Bibi Lou.
            Ada apa, Bibi?” tanyaku heran.
            “Kamu pernah belajar tentang kedokteran, kan? Sepertinya sakit Nina tambah parah. Ayo!” kata Bibi dengan pelan.
            Aku menghampiri Nina ke ranjangnya. Ia terbaring dengan selimut tebal dan kompres di atas dahinya. Nina terlihat sangat pucat. Aku menyentuh pipinya untuk mengukur suhu tubuh. Ah! Panasnya tinggi sekali.
            “Nina, apa yang kamu rasakan?” kataku dengan pelan. Ia mulai menggigil.
            “Kepala dan seluruh tubuhku terasa sakit. Tulangku seperti remuk. Rasanya aneh, tubuhku tak dapat bergerak. Badanku terasa dingin sekali” kata Nina lemas.
            Apakah ini penyakit mematikan tersebut? Tapi bagaimana virusnya dapat sampai ke tubuh Nina? Mustahil!
            “Paman, bibi! Apakah kalian sudah divaksinisasi cacar?” tanyaku dengan lantang.
            “Tidak mungkin! Nina terkena cacar?” kata Bibi Lou. Ia terkejut dan mengelus Nina.
            “Semua penduduk di pulau ini sudah divaksinisasi cacar. Tapi bagai mana bisa Nina terkena cacar?” tanya Paman.
            “Mungkin  gara-gara boneka yang Nina temukan di klinik. Sepertinya boneka itu juga terkena virus cacar” jelasku. “Paman, apakah di sekitar sini ada rumah sakit atau klinik?” tanyaku.
            “Tak ada, ini adalah pulau kecil yang penduduknya tak banyak. Jadi tak perlu ada klinik apa lagi rumah sakit” jelas paman. “Eh, apakah kamu sudah divaksinisasi?” tanya Paman Lou kepadaku.
            “Sudah, saat di Jepang” jawabku.
            Aku langsung mengangkat dan menggendong Nina dari ranjangnya. Aku bergegas ke luar rumah.
            “Anna! Kamu mau kemana?” tanya Bibi Lou.
            “Aku akan ke seberang pulau. Apapun yang sudah disentuh Nina dibakar saja. Sekalian yang di klinik juga dibakar!” kataku.
            “Kalau begitu bawa selimut dan kotak P3K ini” kata Bibi Lou sambil menyerahkan selimut dan kotak P3K.
            Aku langsung bergegas ke pantai. Perjalanan pantai begitu gelap dan jauh. Aku takut bila aku terlambat. Tidak! Aku tak boleh terlambat. Semua ini demi Nina! Sesampai di pantai, aku bertanya kepada penjaga pantai apakah ada perahu motor di pantai tersebut.
            “Maaf, tak ada perahu motor yang tersisa. Perahu motor hanya akan datang pada besok siang. Namun kelihatannya sangat gawat, kalau begitu pakailah perahu dayung milikku. Mungkin sampai pelabuhan akan memakan waktu 3 jam” kata penjaga pantai.
            “Tak apa, pak! Itu sudah membantu. Terimakasih!”
            Aku bergegas ke perahu dayung. Aku membaringkan Nina dengan perlahan. Kemudian kuselimuti tubuhnya. Aku mulai mendayung kapal tanpa henti.
Bertahanlah Nina, kamu tak boleh mati. Ingat apa impianmu! Kamu memiliki impian sama sepertiku. Nina, apakah kamu akan memutuskan impianmu? Nina, jangan mati!
“Anna?” kata Nina lemas. Suaranya beda sekali dengan suara sebelum ia terkena cacar.
“Istirahatlah, Nina!”
“Aku tak mau. Aku takut bila aku memejamkan mataku, aku sudah tak ada di sini lagi”
“Tidak! Kau akan tetap bersamaku, Nina!”
“Kalau begitu nyanyikan aku sebuah lagu, kakak!” kata Nina dengan lemasnya.
Aku menatapnya. Air mataku mulai keluar dengan derasnya mendengar perkataan Nina yang tak berdaya seperti itu.
“Nina bobo…. Ooh Nina bobo. K, ka - lau tidak bobo…. Digigit…. Nya, nya – muk….” aku bernyanyi sepanjang perjalanan dengan tersendat-sendat. Sulit sekali menyanyikan lagu tersebut untuk Nina yang tak berdaya seperti itu.
Sesampai di pelabuhan, aku menggendong Nina dan bergegas ke rumah praktik dikter di dekat pelabuhan.
“Dokter! Dokter! Tolong saya, dokter!!!” teriakku di depan rumah praktik seorang dokter. Akhirnya dokter pun keluar dari rumahnya.
Ada apa dini hari begini mencari saya?” kata dokter.
“Tolong saya, dokter!! Adik saya terkena cacar”
“Kalau begitu cepat bawa masuk!” kata dokter.
Aku bergegas masuk dan membaringkan Nina di atas ranjang ruang praktik. Kemudian aku menunggu di ruang tunggu. Aku menceritakan semua yang terjadi kepada istri dokter yang memberiku teh hangat.
“Nak, lebih baik kamu juga istrahat. Wajahmu terlihat pucat sekali” kata istri dokter tersebut.
“Aku tak bisa santai selagi adikku sedang meregang nyawa”
Tak lama kemudian dokter pun ke luar.
“Bagaimana, dokter?” tanyaku.
“Kamu tepat waktu, aku sudah memberikan bibit cacar kepadanya. Sekarang adalah masa krisisnya. Sampai masa krisisnya berakhir, kita tak tau apakah yang menyerang adikmu, apakah cacar parah atau biasa. Kita hanya bisa menunggu” jelas dokter.
Aku memasuki ruang praktik. Ruang tersebut terasa hangat. Ada kompres di dahi Nina. Aku menunggu di sampingnya selama dua jam.
“Kakak…. Kak Anna?” Nina memanggil namaku. Aku memegang tangan Nina.
Ada di sini” kataku.
            “Tetap di situ?” kata Nina setengah sadar
“Ya. Makanya bertahanlah! Jangan kalah dengan penyakit itu.ingat impian kita berdua” aku meyakinkan Nina.
“Aku selalu bermimpi masa kecil kita saat bersama ayah. Saat yang bahagia…. Semuanya memanggil….” katanya sangat lemas.
“Tidak! Nina, jangan pergi! Ingatlah untuk apa kamu mengikuti jejakku yang tajam! Untuk apa kamu berusaha setara denganku? Untuk apa kamu muncul di hadapanku bila kamu akan pergi, Nina? Hidupkanlah impianmu sekali lagi, adikku!!” air mataku mengalir deras. Aku memeluk tubuhnya yang lemas dengan erat. Aku takut kehilangan Nina.
Dokter masuk dan menyuruhku menunggu di luar. Aku tak ingin meninggalkan Nina, namun dokter meyakinkanku. Aku keluar dari rumah tersebut, aku melihat mentari terbit. Indah, seperti senyum Nina. Tuhan! Jangan ambil Nina, tak ada adik sehebat dia. Dia mampu melawanku, dia mampu melebihiku, maka dari itu jangan ambil Nina! Ambil saja aku yang tak sesempurna Nina, Tuhan!
“Aku sudah sering melihat mentari terbit. Namun aku baru melihat mentari seindah anak itu yang dapat melawan cacar” kata dokter di sampingku.
Aku memeluk dokter seperti aku memeluk ayahku. Tak terasa air mataku tertetes.
“Ini adalah hari terindah, dokter!” kataku.
Aku menatap sebuah langit-langit. Aku berada di rumah praktik seorang dokter dekat pelabuhan? Ya, tempat dimana adikku dirawat karena cacar. Mungkin aku pingsan karena kelelahan.
“Kakak?” aku mendengar suara kecil di sampingku. Aku menengok ke kanan. Aku melihat Nina terbaring. “Ternyata calon dokter seperti kita juga dapat di rawat ya, kak?”
Aku senang melihat adikku tersenyum. Lalu kami pun mulai tertawa, tak lama kemudian aku meneteskan air mata.
“Dasar kakak yang cengeng!” kata Nina dengan senyuman.
“Nina?” aku turun dari ranjang dan menghampiri Nina. “Jangan panggil aku kakak, panggil Anna saja” aku tersenyum dan mengecup kening Nina.